Buletin Jum'at


Permusuhan Menghalangi Ampunan

“Telah bercerita kepada kami Ibnu Abi Umar, (ia berkata) telah bercerita Sofyan kepada kami, (ia berkata) dari Muslim Bin Abi Maryam, (ia berkata) dari Abi Shaleh, ia mendengar Abu Hurairah menyandarkan hadits pada Nabi saw yang perang bersabda: "Dilaporkan (kepada Allah) semua perbuatan orang pada setiap hari kamis dan Senin (dalam seminggu), lalu Allah 'Azza Wa Jalla mengampuninya pada hari itu (juga) kepada setiap orang yang tidak syirik (menyengutukan) sesuatu dengan-Nya, kecuali siapa saja yang terjadi antara dia dan saudaranya (seiman) persengketana (permusuhan); yaitu Allah berfirman untuknya: Tinggalkanlah (jangan dihapus dosa) kedua dua (orang yang bersengketa) ini, sehingga mereka berdua berdamai , tinggalkanlah (jangan dihapus dosa) kedua dua (orang yang bersengketa) ini, sehingga mereka berdua berdamai." (Hadits Sahih Riwayat Muslim)

Rasulullah saw mengabarkan di dalam hadits di atas bahwa semua amal perbuatan manusia diangkat atau dilaporkan kepada Allah dua kali dalam seminggu yaitu pada setiap hari Khamis dan hari Senin. Lalu Allah swt mengampuni kesalahan hamba-hamba-Nya asalkan mereka tidak melakukan syirik (mempersekutukan) sesuatu dengan-Nya. Ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT sendiri di dalam salah satu hadis Qudsy-Nya:
 
Hai anak Adam, sesungguhnya kalau engkau datang kepada-Ku dengan kesalahan-kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau menemui Aku dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Ku, niscaya Aku berikan kepada Engkau ampunan sepenuh bumi". (HR Tarmizi – Katanya: Hadis Hasan Shahih)
Berdasarkan hadits di atas jelaslah bahwa setiap manusia mempunyai harapan untuk mendapat ampunan Allah swt asalkan mereka tidak berbuat syirik terhadap Allah. Dosa Syirik yang dibawa hingga mati dan tidak sempat bertaubat hingga akhir hayatnya akan menutup sama sekali seseorang mendapatkan ampunan Allah. Oleh karenanya kita sebaiknya setiap hari memanjatkan doa ini:
Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada Engkau daripada melakukan syirik terhadap-Mu dengan sesuatu yang kami mengetahuinya. Dan kami memohon ampunan-Mu terhadap syirik yang kami lakukan karena kami tidak mengetahuinya.
Dalam Hadits Bab di atas dinyatakan oleh Rasulullah saw bahwa selain dosa syirik yang dapat menghalang kita mendapat ampunan Allah, ada satu lagi syarat tambahan yang diperlukan agar dosa-dosa kita tidak terkatung-katung dari mendapatkan pengampunan Allah swt, yaitu "Dosa bermusuhan dengan sesama muslim". Bermusuhan dengan saudara seagama yakni se-Iman dan se-Islam dan saling benci membenci, saling dendam, saling memutuskan hubungan persaudaraan atau silaturrahim dengan kaum kerabat, tidak akur dan sebagainya, maka dalam hal ini Allah Azza Wa Jalla telah melarang pelaku permusuhan itu menunda nunda waktu untuk berdamai.
JANGAN MENUNDA WAKTU:
Menunda waktu untuk kembali berbaik-baikan adalah sama dengan menunda waktu turunnya ampunan Allah. Dan jika ini terjadi berarti kita telah membinasakan diri kita sendiri dan juga mengabaikan seruan Allah:
 
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran : 133)
"Segera bertaubat dan berbaikan kembali" bagi mereka yang bersengketa, bermusuhan, tidak akur satu sama lain, kurang peka dengan perasaan orang lain dan sebagainya adalah termasuk perangai orang yang bertaqwa menurut ayat di atas. Sedangkan sikap menunda nundanya, berarti menunda amal taqwa.
 
Perintah bersegera mencari ampunan ini ditekankan karena bisa saja terjadi dua orang bersaudara yang tidak akur itu sampai bertahun-tahun tak berkesudahan karena terlalu memperturutkan nafsu amarah, dan mereka hanyut dalam kebencian dan kedengkian.
Tradisi yang sering terjadi dalam masyarakat kita yaitu menunda waktu berbaikan dan bermaaf maafan itu sampai datang "Hari Raya". Pada hari tersebut ada nuansa tersendiri yang mendorong kita untuk saling bermaafan. Suasana Hari Raya memang dapat mengubah suasana, yang tadinya berat menjadi ringan. Memang baik juga bermaafan di Hari Raya, tetapi yang tidak baiknya adalah menundanya, kita tidak tahu pasti kapan maut akan menjemput kita.
Menunda kebaikan dapat menimbulkan kerugian hidup yang hakiki. Salah satu bentuk kerugian itu adalah muflish,  sebagaimana dijelaskan oleh Nabi saw:
“Sesungguhnya orang yang muflis dari umatku adalah orang yang datang pada Hari Qiamat dengan membawa (pahala) sholat, puasa dan zakat. Akan tetapi ia datang benar benar (di dunia) mencaci maki orang, memfitnah, memakan harta orang lain (dengan tidak sah), menumpahkan darah dan memukul orang. Maka diberilah (orang) yang dizalimi tadi ganjaran orang yang menzalimi tersebut (satu persatu). Lalu apabila habis ganjaran kebaikannya sedangkan belum dilunasi tanggungjawabnya, maka diambillah dosa-dosa kesalahan dari orang-orang yang dizalimi lalu dibebankan kepada orang tersebut, kemudian orang tersebut dilemparkan ke dalam neraka. (Hadits Sahih Riwayat Muslim)
Hadits di atas menetapkan hukuman atas mereka yang terlibat agar penghapusan dosa mereka ditangguhkan atau ditunda sehingga mereka berbaikan atau berdamai. Dan apabila mereka telah berbaikan dan bermaaf-maafan maka Allah akan memaafkan dan mengampuni dosa dosa mereka sebagaimana Allah mengampuni dosa-dosa hamba-hambaNya yang lain yang meng-Esakan-Nya.
Jadi selama ada dalam diri kita sifat permusuhan atau suka bersengketa dengan sesama muslim itu masih ada, maka selama itulah Allah tidak bersedia untuk mengampuni dosanya walaupun dia tidak terlibat dengan syirik, walaupun dia mengaku sebagai seorang muslim dan mukmin, walaupun dia berulang kali berdoa memohon ampunan kepada Allah.
Hadits ini seolah olah ingin menggambarkan kepada kita bagaimana seharusnya model kehidupan antara Muslim dengan Muslim yang lain dalam masyarakat. Setiap muslim harus senantiasa menjernihkan dan mensucikan hati mereka dari segala bentuk kotoran atau penyakit hati yang dapat mendorong pada permusuhan seperti hasad dengki, riya, ‘ujub, dendam, takabbur, dsb.
Barangkali inilah rahasianya mengapa Allah SWT merekamkan doa para Muhajirin dan Anshar dalam Al Quran, semoga doa yang baik ini dapat diikuti oleh umat Islam kemudian:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Al Hasyr / 59: 10)
Jadi secara halus hadits di atas mengantarkan kita kepada kehidupan yang ikhlas dan bersih lahir batin sehingga kita berhak memperoleh keampunan Allah dan keridhaan-Nya.
Hadits ini juga membimbing kita bahwa untuk menuju ampunan serta ridha Allah itu tidaklah ditempuh dengan pertentangan, sengaja mencipta suasana permusuhan dan perselisihan dalam hal hal yang tidak perinsip sehingga mendatangkan jurang pemisah atara sesama saudara se-Iman dan se-Islam. Akan tetapi yang seharusnya kita tempuh adalah melalui suasana kekompakan penuh perdamaian, saling maaf-memaafkan, toleransi (tasamuh) dalam hal hal yang kita dapat bertolak ansur, dan jangan berbuat sesuatu kepada orang lain selain yang ia suka apabila orang lain berbuat demikian kepada dirinya.